Cari Blog Ini

Rabu, 12 November 2014

CIRI - Ciri USTAD PALSU



Jakarta – KabarNet: Menurut Ustadz Arifin Ilham, sedikitnya ada 9 ciri untuk mengetahui apakah seseorang yang mengaku ustadz, habib, atau ulama, merupakan dukun atau bukan. Berikut ini kami paparkan ciri-ciri dukun yang mengaku ulama tersebut.
Dukun akan mengunakan semua cara untuk memperdaya paseinnya, terutama yang sangat awam pengetahuan Syariat Islam, bahkan kalau perlu mengunakan gelar kehormatan ulama, seperti Kiyai, Ustadz, Habib, dan sebagainya. Untuk itu kenalilah dukun berbaju mulia ini, diantaranya:
1. Tidak mengunakan nama aslinya, tetapi nama yang dikesankan ada “kedigjayaan”
Inilah ciri khas para dukun dan paranormal. Mereka sangat suka menggelari diri mereka dengan sebutan-sebutan aneh dan menyiratkan kesaktian. Para dukun juga menggelari mereka sendiri dengan julukan ‘Ki’ contoh : Ki Gendeng Pamungkas, Ki Joko Bodo, dan lain-lain. Yang bergelar ‘ustadz’ pun tidak sedikit, padahal nama aslinya bisa jadi adalah ‘Muhammad Susilo Wibowo’
2. Hobbi sekali memamerkan kesaktiannya
Salah satu contoh yang sering muncul di TVRI dan JakTV adalah ‘Ustadz Fulan’ yang suka memamerkan kesaktiannya, yakni tidak mempan disayat dengan pedang atau alat tajam lainnya. Juga para dukun dan paranormal lainnya suka mendemonstrasikan kesaktian, seperti atraksi kekebalan, debus, tenaga dalam, dan lain-lain.
3. Ilmu Syariat agamanya tidak mumpuni
Dukun yang berkedok ustadz selalu membawa ciri khas dukun, yaitu sama sekali kurang dalam dalil baik dari Al-Qur’an dan sunnah. Dakwahnya mengajak pada kesyirikan dan kesesatan.
4. Memanfaatkan para tokoh untuk melegalisir prakteknya, yang sebenarnya tokoh tersebut belum tahu persis praktek tersembunyinya karena sang dukun menampilkan kesan seakan seusai “syariat”
‘Ustadz Fulan’ yang sering muncul di TVRI dan JakTV, misalnya, sering mengundang ustadz-ustadz selebritis seperti Ustadz Jefri Al Bukhori, Ustadz Solmed, dan lainnya untuk duduk bersama pada acara mengiklankan pengobatan padepokannya.
5. Prakteknya ikhtilaath menjamah bukan mahramnya
Peruqyah syar’i sangat anti menyentuh secara langsung pasiennya, jikapun harus memakai sarung tangan itupun untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan ‘Ustadz Fulan yang sering muncul di TV, sangat suka menyentuh non mahram hingga bersentuhan kulit. Dan di padepokannya terlihat berikhtilat bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tidak dipisah sama sekali.
6. Berani bayar media untuk promosinya
Sebagian orang menyangka stasiun televisi yang menayangkan acara ustad-ustadz dukun tersebut yang mengundang sang ustadz. Jangan dikira kemunculan itu gratis dan dibayar! Justru dukun berbaju ustadz inilah yang membayar TV agar bisa tampil promosi pengobatan perdukunannya.
7. Dengan bahasa mahar, infak, namun jelas tarifnya “wah”, disertai ancaman kalau tidak segera diobati akan mati, kalau tidak segera ditransfer doanya tidak sampai, penyakit tidak sembuh, dan sebagainya
Ciri khas dukun ialah sangat suka menakut-nakuti pasiennya bahwa sakitnya berat, maka pengobatannya lama dan harus bayar mahar yang tinggi sampai puluhan juta mengalahkan pengobatan kedokteran. Ustadz Fulan yang sering muncul di TV suka mengancam pasiennya jika tidak melunasi hutangnya maka penyakitnya tidak sembuh dan tidak akan didoakan oleh dia.
8. Disertai aksi tipudaya menakuti seperti bekam darahnya ada cacingnya, rumah ada hantunya, kena santet, dan sebagainya.
Dukun sangat suka menipu, setiap ada pasien yang datang selalu dikatakan kena santet dan pasti akan keluar benda-benda aneh dari dalam telur atau ketika dibekam yang semuanya itu cuma trik sulap belaka.
9. Memberi azimat atau amalan yang tidak berdasar
Ciri khas dukun yaitu memberi azimat, termasuk dalam hal ini Ustadz Fulan yang sering muncul di TV memberi azimat pada pasiennya, atau menggunakan media azimat ketika mengobati. “Sungguh, wajib kusampaikan karena korban sudah berjatuhan. Semoga sahabatku selamat dari tipudaya menyesatkan ini,” pungkas Ustadz Arifin Ilham.

Rabu, 23 Januari 2013

Sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW...!


SEJARAH MAULID NABI –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
================================

~ Asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:

~ “Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”

Sementara kita mengatakan:

~ “Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?”

Orang yang memperhatikan sejarah Nabi saw, serta sejarah para sahabat dan para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah tahun 350 H, tidak akan mendapatkan seorangpun dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam al-Hafizh as-Sakhawi al-Syafi’i dalam fatawanya berkata: “Perayaan maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salaf shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal itu terjadi setelah itu.” (Mengutip dari Subulul Huda war-Rasyad (1/439), karya al-Shalihi, cetakan Kementrian Waqa
f Mesir.)

Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah: Sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau oleh para khulafa` ahlus sunnah yang dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang menyimpang dan memusuhi sunnah? (Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh) (www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm)

Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, diantaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:

“Para sejarawan tidak mengetahui seorangpun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan as-Sandubi.

Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.” Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah maulid sebagai berikut:

Pertama:

Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah merayakan berbagai macam maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah al-Muiz lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada tahun 488 H karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255)

Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata:

“Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”

Lalu dia mengatakan:

“Adalah para khalifah Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu: Hari Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as, Maulid Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa), Malam Awal Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal) Ramadhan, Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari Raya Kelahiran, Hari Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum Paskah), dan hari-hari Rukubat.”

Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.” Di tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H)

”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.” Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).

Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya al-Hanini penulis al-Maulid an-Nabawi menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya. Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:

a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap ahlul bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.

b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari maulid Isa (natal), yang kesemuanya adalah hari raya Kristen. Ibnul Turkmani dalam kitabnya al-Luma’ fil Hawadits wal Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia berkata,

“Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.”

Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/ maulid Isa).”

Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka.

Kemudia ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan al-Quran dan Sunnah melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyiin.

Kedua:

Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M ) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.

Ketiga:

Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz, Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.

Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan: Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.” Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang menjadi panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri) dan ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.” (Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H.

Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara maulid maka para ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal maulid. Di antara mereka adalah al-Fakih al-Maliki Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami al-Iskandari yang dikenal dengan sebutan al-Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam risalah al-Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.

Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852), as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami (909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara maulid. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya:

“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)

Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya al-Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi saw adalah nikmat Allah yang besar.

Saya katakan:

Betul, mengingatkan nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi saw melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau idul milad atau mauludan.

Penutup

Pembaca yang mulia, setelah kita mengetahui asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:

“Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”

Sementara kita mengatakan sekali lagi:

“Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?” [*]

Malang, 23 Muharram 1430H/ 20-1-09

(Oleh Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag).

sumber : www.qiblati.com

Maraji :

1. Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuhuh, Atsaruh)www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm,www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_mawleed.html
2. Athiyah Shaqr, Fatawa al-Azhar (Maktabah Syaamilah 2)
3. Jalaluddin as-Suyuthi, Husnul Maqshad fi Amalil Maulid, dalam kitab al-Hawi lilfatwa, Darul Fikr,1414,1/221-231.
4. Samir ibn Khalil al-Maliki, Mukhtasar fi Hukmil A’yad al-Muhdatsah,www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_awal.html)
5. http://www.alasr.ws/index.cfm?method=home.con&contentID=8819
6. Shalih Suhaimi, al-Bida’ wa atsaruha fi inhiraf at-Tashawwur al-Islami,www.iu.edu.sa/Magazine/50-51/7.doc
Diambil dari bulletin Qiblati (Vol.1 No. 3 Th 1430 H Maret 2009)

(nahimunkar.com/Kabarduniaislam)

Kamis, 17 Januari 2013

Beginilah akhlak seorang Da'I



Inilah beberapa akhlak yang harus dimiliki oleh setiap da’i. Para da’i yang tidak memiliki sifat dan akhlak ini, dakwahnya niscaya akan kandas dan usahanya akan menjadi sia-sia. Dalam kitabnya Fadhlud Dakwati ilallah dan kitab Manhajul Anbiya’ fid Dakwah ilallah.  
Akhlak da’i yang baik, dapat kita ketahui dari kriteria dalam kitab Fadhlud Dakwati ilallah hal. 32-34. : “Adapun akhlak dan sifat yang harus dipunyai oleh seorang da’i di dalam berdakwah banyak sekali, antara lain:
a. Ikhlas.
Wajib atas seorang da’i untuk ikhlas karena Allah (di dalam berdakwah), tidak riya’, sum’ah (cari popularitas) ataupun pujian orang. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Katakanlah (hai Muhammad): Inilah jalanku, aku berdakwah ke (jalan) Allah….” (Yusuf: 108)
b. Memiliki ilmu tentang apa yang didakwahkannya.
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ ﴿يوسف: ١٠٨﴾
“Katakanlah (hai Muhammad): “inilah jalanku, aku berdakwah ke (jalan) Allah dengan bashirah….” (Yusuf: 108)
Wajib bagi setiap da’i untuk mengilmui apa yang dia dakwahkan dan melihat dalil-dalilnya, maka apabila telah jelas bagi dia kebenaran dan dia mengetahuinya maka dia dakwahkan, apakah itu berbentuk perbuatan ataupun sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan.
c. Ramah dan lemah lembut di dalam berdakwah.
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….” (An-Nahl: 125)
d. Mengamalkan dan menjadi suri teladan yang baik dari apa yang dia dakwahkan. Tidak seperti orang yang mendakwahkan sesuatu kemudian dia meninggalkannya atau melarang sesuatu kemudian dia malah mengerjakannya. Sebab, ini adalah keadaannya orang-orang yang merugi. Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ﴿٢﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ ﴿الصف: ٢-٣﴾
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat.” (Ash-Shaf: 2-3)
Menanggapi tentang akhlak yang harus dimiliki para da’i Syaikh Shalih bin Fauzan di dalam mukaddimah kitab Manhajul Anbiya’ fid Dakwah ilallah mengatakan:
1. Mengilmui apa yang dia dakwahkan, karena orang jahil tidak berhak untuk menjadi da’i. Allah berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ﴿يوسف: ١٠٨﴾
“Katakanlah (hai Muhammad), “inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah ke (jalan) Allah dengan bashirah.” (Yusuf: 108)
2. Mengamalkan apa yang dia dakwahkan.
Ini dimaksudkan agar dia menjadi suri teladan yang baik, yang amalannya membenarkan perkataannya, sehingga ahlul batil tidak mempunyai hujjah untuk melawannya. Allah berfirman tentang Nabi Syu’aib bahwa dia berkata kepada kaumnya:
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ…﴿هود: ٨٨﴾
“… Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang, aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan ….” (Hud: 88)
3. Ikhlas dalam berdakwah.
Yaitu karena Allah semata, tidak ingin riya, popularitas, pangkat, kepemimpinan, dan tidak pula karena tujuan-tujuan duniawi yang lainnya, karena kalau diselipi dengan maksud-maksud di atas tadi, maka dakwahnya bukan karena Allah melainkan karena kepentingan pribadi.
4. Memulai dari yang terpenting kemudian yang penting (berikutnya).
Yaitu memulai dengan perbaikan aqidah, dengan memerintahkan untuk ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan melarang dari perbuatan syirik. Kemudian juga memerintahkan shalat, zakat, amalan-amalan wajib dan melarang dari perkara-perkara haram yang lainnya. Sebab, inilah jalan yang ditempuh oleh para Rasul. Allah berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut itu….” (An-Nahl: 36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’: 25)
Sejarah perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan contoh yang baik dan manhaj dakwah yang paling lengkap, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Mekkah selama 13 tahun untuk menyeru umat manusia kepada tauhid dan melarang mereka dari perbuatan syirik. Ini dilakukan sebelum menyeru kepada shalat (lima waktu), zakat, puasa, dan haji. Dan ini sebelum melarang mereka dari zina, riba, mencuri dan bunuh diri.
5. Bersabar terhadap apa yang menimpa dirinya dalam berdakwah ke jalan Allah.
Seorang da’i harus sabar dalam berdakwah karena perjalanan dakwah tidak selamanya mulus dan tidak semudah yang dibayangkan. Jalan dakwah itu penuh dengan rintangan dan marabahaya. Contoh-contoh da’i yang baik tentu saja adalah para Rasulullah shalawatullah wa salamuhu alaihim. Allah berfirman:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ﴿الأنعام: ٣٤﴾
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-Rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka….” (Al-An’am: 34)
6. Berbudi pekerti yang luhur dan menggunakan hikmah dalam dakwahnya.
Dengan cara ini, dakwah sering kali lebih mudah diterima. Dan ini sesuai pula dengan apa yang Allah perintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ketika mereka berdakwah kepada Fir’aun, orang yang paling kafir di muka bumi saat itu karena mengaku sebagai Tuhan. Allah berfirman:
فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى ﴿طه: ٤٤﴾
“Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)
Demikian pula apa yang difirmankan Allah pada Nabi Muhammad, bagaimana beliau harus berdakwah kepada umatnya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ﴿ال عمران: ١٥٩﴾
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imran: 159)
7. Bertekad bulat dengan cita-cita yang kuat.
Seorang da’i tidaklah boleh putus asa dalam berdakwah dan tidak pula boleh putus asa dari pertolongan dan bantuan Allah, walaupun ia telah berdakwah dalam jangka waktu yang lama. Cukuplah bagi dia, para Rasul sebagai suri teladannya. Ingatlah bagaimana sikap Nabi Nuh yang selama 950 tahun menyeru kaumnya ke jalan Allah. Ingatlah pula apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kaumnya dengan kejamnya menganiaya beliau, sampai-sampai beliau didatangi malaikat penjaga gunung yang meminta izin untuk menjatuhkan batu-batuan kepada mereka. Rasulullah pada saat itu hanya menjawab (yang maknanya): “Jangan, (biarlah) aku tangguhkan mereka. Mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari anak cucu mereka, orang-orang yang beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatupun.”
Inilah beberapa akhlak yang harus dimiliki oleh setiap da’i. Para da’i yang tidak memiliki sifat dan akhlak di atas, dakwahnya niscaya akan kandas dan usahanya akan menjadi sia-sia.
Maraji’ :
- Fadhlud Dakwati ilallah
- Manhajul Anbiya’ fid Dakwah Ilallah