Ali Anwar, Sejarawan
KEKHAWATIRAN saya terbukti. Keresahan sosial bernuansa agama itupun meletus dalam bentuk kekerasan di Jalan Mustikasari, Mustikajaya, Kota Bekasi, pada Minggu, 12 September 2010. Pada pagi yang cerah, sekitar pukul 09.00, rombongan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah yang hendak kebaktian di lapan kosong di Kampung Ciketing Asem, bentrok dengan sekelompok pemuda Islam.
Kedua belah pihak yang telah dirasuki permusuhan, bersenggolan. Terjadilah baku hantam, saling pukul, saling tikam. Sama-sama menjadi korban. Ada yang memar, benjol, terkilir, hingga robek pada bagian perutnya.
Itu sebabnya, polisi langsung menyimpulkan, insiden tersebut masuk katagori kriminalitas, bukan konflik antaragama. Sepuluh orang dari kelompok Islam dijadikan tersangka, adapun dari pihak HKBP belum ada kabar ikut diperiksa.
Mengapa kekhawatiran saya menjadi kenyataan? Karena konflik tersebut tidak kunjung reda dalam rentang waktu lama, berbulan-bulan. Bahkan kalau melihat akar permasalahannya, rentangnya hingga bertahun-tahun.
Pemerintah Kota Bekasi yang berpegangan pada aturan hukum negara--Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan No .9 tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadat, serta Peraturan Wali Kota nomor 16 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi--sudah mengajukan beberapa opsi penyelesaian, namun diabaikan jemaat HKBP.
Seperti gerakan protes sosial umumnya, bilamana proses negosiasi berlarut-larut, ada saja pihak yang memprovokasi, sehingga memancing orang-orang yang tidak sabaran untuk “bertempur.” Maka, terjadilah insiden Ciketing itu.
Rupanya konflik antara jemaat Kristen dari etnis Batak dengan Islam di “Tanah Betawi” tersebut bukan yang pertama, melainkan sudah beberapa kali dalam rentang waktu sekitar 20 tahun.
Dalam penelusuran singkat, saya mencatat insiden benturan pertama antara HKBP dengan umat Islam di Bekasi terjadi pada 1989 di Perumahan Wisma Asri, Teluk Pucung. Gerejanya dirobohkan, sedangkan pendeta dan beberapa jemaatnya menderita luka serius, nyaris tewas.
Masa reformasi, penggunaan rumah tinggal atau rumah toko menjadi tempat peribadatan tanpa izin makin menjamur. Beberapa diantaranya menjadi amuk massa. Pada 6 Agustus 2002, rumah kontrakan yang dijadikan tempat kebaktian HKBP di Kampung Utan Rt 4/8 Wanasari, Cibitung, dirusak sekitar 300 orang.
Pada saat yang sama, rekomendasi tempat ibadah umat Kristiani di Kecamatan Tarumajaya dibatalkan Kantor Departemen Agama Kabupaten Bekasi. Pada 8 Juni 2003, warga membakar rumah untuk kebaktian HKBP di Pondok Ungu Permai Blok G-14 No. 12-13, Kaliabang Tengah, Bekasi Utara.
Pada 10 September 2005, warga menghentikan pembangunan gereja HKBP di Jalan Melati Raya Ujung, RT 18/11, Desa Jati Mulya, Tambun Selatan. Pebangunan gereja HKBP didemo warga Desa Jejalen, Tambun Utara, pada 3 Januari 2010. Pemerintah Kabupaten Bekasi menyegel gereja HKBP di Desa Jejalen pada 12 Januari 2010.
Pemerintah Kota Bekasi juga menyegel dua gereja yang tidak memiliki izin pembangunan, yakni gereja HKBP di Pondok Timur dan Gereja Santo Albertus di Harapan Indah, Medan Satria. Sedangkan di Ciketing Asem, Mustika Jaya, warga menolak pembangunan gereja di lahan kosong sejak 25 Juli 2010 hingga meletuskan insiden Ciketing lalu.
Mengapa selalu HKBP yang bermasalah? Bermula pada 1980-an, tatkala sebagian wilayah Bekasi dijadikan kawasan industri dan perumahan. Para pendatang yang terus membengkak di Jakarta, otomatis menyebar ke wilayah Bekasi. Kaum “endonan” tersebut berasal dari berbagai etnis dengan beragam keyakinan agamanya.
Kamis, 16 September 2010 , 08:11:00
Di tanahnya yang baru ini, mereka juga membutuhkan tempat beribadah. Maka, umat non-Muslim mengajukan keinginan pendirian rumah ibadat. Masyarakat Islam Bekasi, yang semula terkaget-kaget dengan perubahan zaman tersebut, akhirnya mempersilakan kaum pendatang non-Muslim tersebut untuk mendirikan rumah ibadahnya.
Alasannya, mereka mengantongi izin lengkap dan berjanji untuk hidup harmonis dan menghormati adat-istiadat Bekasi. Bahkan, komunitas Kristen dan Islam amat erat dalam adat, seperti di Kampung Sawah, Jatisampurna, Kota Bekasi.
Rupanya, di tengah proses harmonisasi antarumat beragama tersebut, hadir pula penganut Kristen dari suku Batak yang cenderung bertentangan dengan irama adat-istiadat Bekasi, terutama dari jemaat HKBP. Beberapa dari mereka mencoba mendirikan rumah ibadat atau mengubah fungsi ruko menjadi rumah ibadat, meski tidak melengkapi persyaratan.
Kompromi dan peringatan warga diabaikan, sehingga menimbulkan kemarahan. Karena konflik keagamaan tersebut terkait dengan Kristen dari etnis Batak, maka lembaga adat Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi “turun tangan” untuk mencari solusi dengan cara adat pula.
Ketua Harian BKMB Bhagasasi, Aan Suhanda, menilai masyarakat Bekasi menjadi resah oleh kaum “endonan” yang “songong.” Oleh karena itu, kata dia, kalau HKBP mau harmonis, harus menaati aturan dan menyesuaikan diri dengan adat-istiadat Bekasi. Kata pepatah melayu, di mana bumi diinjek di situ langit dijunjung. Bumi boleh diinjek, tapi langit jangan diacak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar